tips sederhana mengenali berita hoax
Tips sederhana mengenali berita
sampah
Selamat malam kawan-kawan sekalian. Mungkin
mala mini saya akan berbagi mengenai tips sederhana mengenali berita sampah
atau tidak benar (hoax)
Banyak berita di antaranya berita
bohong, fitnah, plintiran. Pastikan kita bukan bagian dari penyebarnya. Bagaima
kita tahu bahwa suatu berita tidak benar? Atau paling tidak meragukan?
Berikut ini beberapa tip sederhana.
Ini bukan hasil riset ilmiah, hanya kristalisasi pengalamanan dan instink
kewartawanan.
Pertama, simak judulnya: Apakah
judulnya bombastis? Alias lebai? Menggunakan kata-kata provokatif? Bila
jawabannya iya, segeralah ragukan.
Judul berita yang benar biasanya
datar dan adem. Misalnya: Presiden Jokowi menyatakan Arab Saudi setuju
penambahan kuota haji. Kalau di media penghasut dan penjilat judul akan
berbunyi: Luar biasa! Presiden Jokowi berhasil menekan Arab Saudi menambah
kuota haji. Arab Saudi tak berkutik.
Misal lain: Tamparan keras untuk Aa
Gym dan Arifin Ilham. Atau Ucapan keras Rais Syuriah NU bungkam Aa Gym dan
Arifin Ilham.
Kata-kata 'tamparan keras' dan
'ucapan keras' serta 'bungkam' itu karangan si editor yang ingin beritanya
mengundang perhatian, dengan cara tidak halal. Maka sudah pasti beritanya tak
menarik.
Judul yang bener: Rais Syuriah PBNU
menyatakan NU tidak dalam posisi mendukung atau menghalangi non-Muslim jadi
pemimpin.
Di isi berita, dan dalam seluruh
pernyataannya, Rois Syuriah sama sekali tak menyebut-sebut nama Aa Gym dan
Arifin Ilham. Tapi si penyunting ingin berita tengil jadi menarik, maka
ditempelkanlah nama Aa Gym dan Arifin Ilham, pake kata ‘tamparan keras’ dan
‘bungkam’.
Ada juga pola pembuatan judul yang
dimulai dengan ‘Inilah’ tambah subjek plus kata ‘dahsyat’: Inilah jawaban
dahsyat Ahok kepada Tri Rismaharani; Inilah tanggapan dashyat Menteri Susi
Pudjiastuti Kepada Ratna Sarumpaet. Isinya cuma pernyataan biasa. Boro-boro
dahsyat.
Katakanlah Saya bertemu seorang
kenalan di jalan, dan kenalan itu menyapa saya: “Hey! Apakabar?” Dan saya
jawab: “Alhamdulilah. Saya baik-baik saja.” Bila pertemuan dan dialog singkat
ini diliput media sejenis di atas, mereka akan kasih judul: Inilah jawaban
dahsyat Kafil Yamin yang membungkam seorang penanya -- kalau media itu menyukai
saya.
Ada lagi pola gaya pembuatan judul
yang dimulai dengan Wow! atau Menakjubkan! Luar biasa! Mantap. Kalau berita
negatif, kata serunya Parah! Astaghfirullah! Saya jamin deh, setelah dibaca,
boro-boro menakjubkan. Justru membosankan. Garing. Kedua, simak. Apa judulnya
masuk akal? Kalau tidak, abaikan. Mantap, Masyarakat NTT Siap Bumi Hanguskan
FPI Sampai Habis. Ini judul Detik.com.
Setelah dibaca, tidak ada pernyataan
dari ormas, kelompok dan paguyuban apapun di NTT. Tidak ada persiapan fisik apa
pun. Ternyata berita itu hanya mengutip sebuah status FB bernama Lasiga
Pedroes. Tidak masuk akal ormas di NTT bisa membumihanguskan sebuah organisasi
berlevel nasional. Lebih tidak masuk akal lagi seorang pemegang akun FB bisa
mengatasnamakan satu provinsi NTT.
Ketiga, baca paragraf pertama dan
kedua saja. Jika tidak ada kutipan, rujukan kepada sumber berita, sudah pasti
itu kalimat si wartawan atau editor yang sedang mengungkapkan pikiran
subjektifnya, atau hawanafsunya. Abaikan.
Kempat, ‘baca’ konteks beritanya.
Bila lebih merupakan reaksi terhadap suatu tindakan atau sikap objek berita,
segeralah ragukan kebasahan informasinya. Tanpa ujung pangkal, berita tentang
dugaan penyalahgunaan dana MUI bermunculan sekarang, setelah MUI memfatwakan
omongan Ahok menistakan agama. Pasti itu bukan berita. Itu serangan. Pasti
nyari-nyari kesalahan. Kalau tidak ketemu, harus ada. Maka kasus dua tiga
dekade lalu pun dimunculkan lagi.
Tak usah heran kalo besok-besok
muncul berita yang mengorek-ngorek soal poligami Aa Gym.
Kelima, penggunaan kata kerja pasif
Dianggap menebar kebencian, MUI
terancam dibubarkan.
Kalau judul atau kalimat sudah
banyak kata pasifnya: ‘dianggap’, ‘diduga’. ‘ditenggarai’, segeralah ragukan.
Kata kerja pasif adalah alat wartawan, editor untuk bersembunyi dari tanggung
jawab. “Si A diduga korupsi.” Dia memang tak menuduh, karena toh ‘diduga’. Tapi
coba tanyakan siapa yang menduga, jawabanya akan ngarang. MUI dianggap menebar
kebencian. Dianggap oleh siapa?
Keenam, perhatikan kredibilitas
narasumber. Pastikan yang ngomong dan dikutip adalah orang yang layak untuk
ngomong tentang isu yang ditanyakan, dalam posisi dan wawasan pengetahuan. Bila
berita dugaan korupsi di MUI bersumber dari omongan seorang pengunjung setia
diskotek, tukang mesum, jauh dari agama, ragukan. Oh ada kutipan dari sebuah
LSM. Tapi sekarang satu orang pengangguran bisa bikin LSM. Tak perlu kantor.
Bikin saja situs gratisan, lalu bikin pernyataan yang keras-keras, hasutan,
nanti ada yang mengutip.
Nah, kalau sudah tahu suatu berita
tidak benar. Berita sampah. Jangan lantas disebar-sebar. meski pakai pengantar:
“Fitnah nih...” Itu bodoh.
Demikian tips yang dapat saya
bagikan pada malam ini. Semoga bermanfaat buat kawan-kawan sekalian.
Comments
Post a Comment